blog-indonesia.com
Welcome Myspace Comments

Selasa, 27 Mei 2008

GURU DAN SERTIFIKASI PROFESI

Sosok Umar Bakri ditengah-tengah masyarakat dewasa ini sering menjadi icon untuk dibicarakan. Tidak terkecuali mantan menteri pendidikan era orde baru Prof. DR. Fuad Hasan mengatakan bahwa 70 % guru-guru saat ini tidak layak mengajar. Suka tidak suka dengan kebenaran tersebut, kita sebagai makhluk yang dianggap super oleh siswa ini, eksistensi dan keprofesionalan guru dalam proses dedaktik metodik telah dipertanyakan, apalagi bila dikaitkankan dengan merosotnya kualitas pendidikan nasional kita. Sungguh tidaklah wajar penyebab rendahnya mutu pendidikan jika ditimpahkan kepundak guru semata, Banyak variabel yang menyokong atas merosotnya mutu pendidikan saat ini.

Bila kita menakar ulang keberadaan guru dalam KBM , guru memiliki fungsi ganda, disamping sebagai pengajar juga sebagai pendidik, maka guru secara otomatis mempunyai tanggung jawab yang besar. Sedikit ilustrasi setiap hari guru dihadapkan pada satu rombongan belajar (pasien) dengan latar belakang yang berbeda, mulai penyakit, kecerdasan, emosi, sikap, tingkah laku dll. Semua itu dibebankan kepada seorang guru untuk mendeteksi, meyembuhkan dan sekaligus juga memandaikannya. Bila kita bandingkan dengan Dokter untuk menangani satu pasien saja dia dibantu banyak orang mulai dari bagian yang mencatat keluhan pasien, meracik obat, nyuntik dll. Dari ilustrsi ini tidaklah berlebihan bila guru sesungguhnya manusia yang luar biasa.

UU Guru dan Dosen

Persaingan hidup yang semakin tajam dan didorong rasa ingin memperbaiki nasib, mampu menggeliatkan guru untuk melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut pemerintah agar memperbaiki nasib dan kesejahteraan guru, hingga memunculkan sikap keterpaksaan pemerintah melaui UU Guru dan Dosen. Keterpaksaan pemerintah ini nampak dari ribetnya persyaratan yang harus dipenuhi guru bila ingin mendapatkan tambahan gaji, melalui sertifikasi profesi. Keterribetan ini ditandai dengan pengumpulan portofolio dengan segala accessoriesnya yang pada gilirannya akan mendorong guru banyak meninggalkan tugas mengajarnya, guru lebih memilih mendatangi seminar, workshop dan sejenisnya. karena harus mencari sebanyak-banyaknya sertifikat guna memenuhi standart nilai yang ditetapkan.

Sesungguhnya UU Guru dan Dosen adalah akal-akalan pemerintah untuk memperbaiki nasib guru. Hal ini diperparah lagi oleh sebagian pengamat pendidikan yang menyamakan sertifikasi guru sama dengan SIM (Surat Izin Mengemudi). Padahal antara guru dan sopir jelas-jelas berbeda. Penyamaan antara sertifikasi guru dengan orang mengambil SIM merupakan penyamaan yang menyesatkan. Izin praktek dokter dengan sertfikasi guru juga jelas-jelas berbeda, karena guru telah mendapatkan legal mengajar dan dokter tidak. Guru telah lama mendapatkan sertifikat mengajar (akta IV) Akibat penyesatan itu muncullah “nekoh-nekoh” dalam pelaksanaannya. Misalnya guru sarjana pendidikan (S-1 bahkan S-2) yang telah melahirkan Habibi Habibi baru dengan segudang prestasi dan telah mengajar 25 tahun harus disertifikasi agar bisa disebut sebagai guru professional? Dan lebih ironisnya lagi adalah bagaimana mungkin untuk menjadi guru professional hanya ditentukan oleh setumpuk sertifikat dan bukan oleh kemampuan dan kompetensi guru.

sUMBER : jARGON mULTIPLY

Tidak ada komentar: