blog-indonesia.com
Welcome Myspace Comments

Rabu, 15 Oktober 2008

Guru Menulis Buku Pelajaran
Selasa, 19 Agustus 2008 | 03:00 WIB 

Gerardus Weruin

Awal tahun pelajaran baru ini, siswa-siswi disibukkan dengan buku pelajaran. Banyak buku yang diperlukan siswa dalam pembelajaran karena belajar memang memerlukan buku teks atau pelajaran.

Namun, apakah buku teks menjadi satu-satunya sumber dalam pembelajaran? Sungguhkah buku teks menjadi sarana yang menguntungkan siswa dalam pembelajaran atau justru menjadi beban bagi siswa (baca orangtua) karena mahal?

Realitas dalam pembelajaran, siswa memiliki buku pelajaran yang wajib, ada buku penunjang, dan buku lembaran (latihan) kerja siswa (LKS). Padahal, ada beberapa mata pelajaran yang diajarkan di sekolah dasar dan menengah.

Setiap hari, siswa-siswi ke sekolah membawa buku yang banyak dalam tasnya. Terkesan siswa-siswi memikul suatu ”beban” yang berat ke sekolah untuk belajar. Pembelajaran tidak lagi dipandang sebagai hal yang menyenangkan karena menjanjikan masa depan, melainkan beban buku yang banyak dalam tasnya saat pergi ke sekolah. Selain itu, buku-buku tersebut juga mahal sehingga menjadi beban tersendiri bagi siswa-siswi dari kalangan yang kurang mampu.

Setiap tahun

Hampir setiap tahun ajaran baru, buku pelajaran selalu menjadi topik penting yang dipersoalkan orangtua siswa.

Ironisnya, persoalan yang krusial ini menjadikan sekolah (guru)-lah kambing hitamnya. Benarkah demikian?

Guru hanyalah korban atas suatu sistem dan kebijakan yang tidak bijaksana. Karena proses pembelajaran kita di Indonesia ini pada akhirnya ditentukan oleh ujian nasional (UN).

UN menjadi barometer keberhasilan pendidikan dan pembelajaran. Maka, guru berpegang teguh pada buku teks supaya mudah menyiapkan siswa-siswi untuk UN.

Para penerbit melihat peluang itu sehingga menerbitkan buku-buku yang labelnya siap UN. Misalnya TOPS (Tuntas Olah Paket Soal) siap UN Bahasa Indonesia SMA dari penerbit Airlangga. Lalu, sekolah (guru) dinilai telah melakukan kolusi dengan penerbit. Berkaitan dengan itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Guru Republik Indonesia Sulistiyo mengatakan, ”Banyak aturan soal pendidikan dan guru dilanggar pemerintah meskipun sudah ada undang-undangnya. Namun, pemerintah selalu mengambinghitamkan guru. Kami tidak ikhlas jika persoalan buku mahal semata-mata dialihkan kepada guru yang dinilai kolusi dengan penerbit (Kompas, 26/7).” Sebenarnya pemerintah, Depdiknas, tidak mampu menyelesaikan persoalan buku pelajaran.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan, buku sebagai bagian dari pelayanan pendidikan dan pemerintah berkewajiban menyediakan buku teks bagi se- mua mata pelajaran di sekolah. Kenyataannya tidak! Malahan dana bantuan operasional buku justru dipotong, bahkan mungkin di daerah-daerah tidak dapat lagi.

Fitri Sunato, Koordinator Kelompok Independen untuk Advokasi Buku, mengatakan bahwa selama ini buku pelajaran sering dianggap sebagai bagian yang terpisah dari pelayanan pendidikan. Gembar-gembor sekolah gratis, tetapi pemerintah tidak dapat membebaskan pajak kertas untuk buku pelajaran. Program e-book pemerintah tidak diperhitungkan secara matang sehingga hanya sebagian masyarakat yang dapat mengakses buku teks online atau versi cetakan lebih mudah. Pendek kata, pemerintah masih gagal dalam mengatasi persoalan buku teks (Kompas, 26/7).

Kegagalan

Kegagalan dan ketidakmampuan pemerintah ini hanya dilihat dari sisi harga yang mahal. Padahal, masih ada sisi lain yang bisa kita kembangkan secara positif dan mendatang nilai-nilai pendidikan untuk siswa-siswi demi masa depannya.

Berilah kesempatan kepada guru-guru untuk mencoba menulis buku pelajaran. Karena gurulah yang paling mengetahui dan mengenal akan kebutuhan siswa.

Selain itu, guru juga paham akan kondisi belajar dan lingkungan hidup siswa. Bercermin pada buku teks bahwa selama ini guru menjadikan buku teks sebagai ”kurikulum”. Guru dan siswa hanyut dalam buku teks sehingga landasan dan arah dari kurikulum kurang tercapai. Singkatnya, model pembelajaran yang berpusat pada siswa tidak bermakna. Siswa dan guru hanya terpaku pada buku teks saja sebagai sumber belajar satu-satunya.

Disayangkan

Sangat disayangkan, gejala ini mengerdilkan kreativitas, inisiatif, dan pikiran kritis pada siswa. Pengetahuan siswa pun sangat terbatas, minat membaca buku rendah, mengasah pikiran kritis dan ingin mencari tahu menjadi tumpul. Akibatnya, kemampuan seperti menulis, berpendapat, menyimak pendapat orang, dan memberi tanggapan sangat minim. Artinya, pendidikan tidak melatih mereka berpikir kritis dan budaya belajar yang baik kepada siswa.

Nasib guru seperti makan buah simalakama. Tidak menggunakan buku teks dalam pembelajaran akan mengorbankan siswa saat UN. Menggunakan buku teks untuk persiapan siswa mengikuti UN terkendala dengan harganya yang mahal. Bahkan, guru dan sekolah dikambinghitamkan tentang persoalan buku pelajaran dalam pendidikan di Tanah Air ini.

Paradigma buku teks sebagai satu-satunya sumber belajar harus berubah. Guru masuk kelas bukan membawa buku teks sebagai ganti kurikulum sebab landasan dan arah kurikulum tidak akan tercapai. Karena proses pembelajaran hanya dari halaman-halaman dalam buku teks saja.

Sangat disayangkan pengalaman dan pengetahuan siswa dari tingkat dasar sampai menengah selama beberapa tahun itu hanya sebatas buku teks.

Oleh karena itu, sekarang saatnya guru harus menulis buku pelajaran. Paling tidak, mempersiapkan materi pembelajaran dari berbagai sumber. Dengan menulis dan membuat persiapan itu, guru memberi ruang gerak yang bebas kepada siswa untuk belajar dari berbagai sumber.

Teori dan ilmu pengetahuan selalu berkembang. Kebenaran pun bukan tunggal.

Paul Hidayat mengatakan, apabila Anda mempelajari kebenaran, tetapi tidak mengalami perubahan hidup, maka hanya ada dua kemungkinan.

Pertama, Anda tidak sungguh-sungguh belajar dan, kedua, yang Anda pelajari itu bukan kebenaran.

Dunia begitu cepat berubah dan di luar ruang kelas siswa-siswi akan menghadapi berbagai kompetisi hidup. Dapat dibayangkan bagaimana siswa-siswi kita menghadapi berbagai kompetisi hidup itu jika selama belajar hanya menggunakan buku teks?

Berilah ruang gerak dan otonomi kepada guru untuk mendesain pembelajaran dari berbagai sumber. Hal ini dimaksudkan untuk menyiapkan siswa-siswi kita dalam berkompetisi hidup di luar ruang kelas. Karena belajar bukan semata-mata untuk mendapat nilai (ijazah), melainkan untuk hidup, keterampilan hidup. Semoga.

Gerardus Weruin, MTB Guru SMA Santo Paulus, Pontianak

Tidak ada komentar: